Bhinneka Tunggal Ika

Relevansi Islam Keindonesiaan

1 Mins read

Jujur, saya termasuk orang yang menolak anggapan bahwa Islam ini terkotak-kotak kedalam aliran atau kebangsaan tertentu (misal: Islam-Lebanon, Islam-Iran, Islam-Arab atau Islam-Indonesia, dsb.).

Karena prinsip Islam sendiri yang universal, dan tidak terbatasi oleh konsep negara (ala Westphalia), sehingga terminologi agama Impor-Ekspor menjadi fallacy karena nya.

Tapi, secara filosofis memang ketika sebuah prinsip atau nilai universal, diaplikasikan pada tataran metodologi atau aplikasi, akan terjadi partikularisasi, baik itu karena pengaruh epistemologi, maupun budaya.

Sehingga menolak Islam yang terfragmentasi itu sulit, karena ibaratnya seperti: seorang guru menyampaikan sebuah pelajaran ke 50 muridnya, tentu sang murid tak semuanya sama dalam memahami pelajaran guru, karena ada pra-kondisi dan epistemologi murid yang membentuk penilaian nya sendiri terhadap konsep (tashawur) yang dia terima dari guru.

Maka, ada 2 poin yang ingin saya sampaikan:

Bahwa Islam dengan sendirinya, pasti mengalami percabangan, tapi bukan berarti tidak ada tiitk temu, sekedar meminjam terminologi Kuntowijoyo: jika di Barat, Sosialisme dan Liberalisme pun memiliki banyak aliran, begitu halnya dengan Islam sebagai sebuah paradigma maupun ideologi.

Walau Islam itu sendiri terfragmentasi, tapi penggunaan istilah/terminologi agama ekspor-impor itu tidak tepat, karena kita mendapati realitas bahwa nilai-nilai yang ada sudah bercampur baur dan membentuk karakteristik tersendiri: sehingga dalil bahwa ini agama atau paham impor, tertolak dengan sendirinya, pernyataan ini tidak benar (menurut saya pribadi), karena pengetahuan dan nilai itu bersifat immaterial, yang tidak mengenal sekat atau batas negara.

Adapun tambahan bagi saya:

Sebenarnya, saya lebih nyaman dengan penyebutan akan adanya diskursus Islam-Keindonesiaan, tapi ia sendiri terbuka, inklusif, rahmatan lil alamin (Universal), dan menerima perbedaan (karena secara epistemologis, sulit menolak fragmentasi, tapi bukan berarti nilai-nilai universal tidak bisa dipegang).

Daripada, mengklaim Islam sebenarnya (sehingga Islam atau kredo diluar pemahamannya pasti salah), sehingga menjadi sempit (eksklusif), tertutup, dan sulit menerima perbedaan.

Jadi yang diperjuangkan adalah pengetahuan dan nilai-nilai universal itu sendiri, walau pasti tersekat kedalam bentuk-bentuk atau identitas partikularnya, daripada memiliki pengetahuan dan nilai-nilai sempit, tapi memaksa bentuk atau identitas partikularnya menjadi universal.

M. Dudi Hari Saputra, MA.
Pengurus Kahmi Samarinda

1668 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Dari Catalonia Hingga ke Papua

3 Mins read
“Kewarganegaraan bukan sekadar status hukum, tetapi praktik sosial yang terus dinegosiasikan.” – Dalam pusaran globalisasi, batas-batas negara semakin kabur, tetapi nasionalisme justru semakin…
Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Drama; Nasionalisme dalam Satu Tayangan

3 Mins read
Ben Anderson, pengkaji Indonesia yang paling masyhur mungkin, pernah menandaskan, bangsa ada berkat kapitalisme cetak. Media massa—koran, buku—memungkinkan insan-insan yang tak saling…
Bhinneka Tunggal Ika

Radio Braille Surabaya: Media Inklusi Bagi Penyandang Disabilitas

3 Mins read
Menembus keterbatasan, Radio Braille Surabaya (RBS) hadir sebagai wujud ekspresi dan media untuk menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas. Keterbatasan fisik, khususnya penglihatan, tidak…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *