Buya Syafii Maarif telah mendahului kita pada Jumat, 27 Mei 2022. Selama hidupnya, Buya dikenal sebagai guru bangsa dengan kepribadian yang humanis dan sejarawan yang kritis. Pemikiran-pemikirannya tentang isu-isu keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan mengetuk hati dan pikiran anak-anak muda berbagai agama, pemikiran, dan etnis.
Maarif Institute bekerjasama dengan Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) menggelar Syafii Maarif Memorial Lecture di Salihara Art Center, Jakarta Selatan, Selasa (5/7/2022). Kegiatan ini digelar untuk memperingati 40 hari wafatnya Buya Syafii Maarif sekaligus untuk terus menghidupkan dan mengembangkan pikiran sang guru bangsa.
Kegiatan yang didukung Komunitas Salihara dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu bertajuk “Pancasila dalam Tindakan: Mengenang Buya Syafii Maarif, Guru Kemanusiaan Penjaga Panggung Kebhinekaan”. Pidato kebudayaan disampaikan oleh Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan Anggota Dewan Pengarah BPIP, Prof. Dr. M. Amin Abdullah.
Dalam pemaparannya, Amin menyatakan Buya dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana dan bersahaja. Ia merasakan dan menghayati benar penderitaan rakyat. Ia juga meyakini Islam sebagai pedoman etika dan petunjuk hidup dengan sepenuh hati, namun tanpa kehilangan rasa hormat kepada pemeluk agama lain yang berbeda.
“Pluralis-inklusif, non-diskriminatif. Cendekiawan- intelektual-ulama berwawasan luas dan terbuka,” jelas Amin.
Menurut Amin, Buya sangat mencintai Indonesia tanpa reserve. Tapi ketika para penyelenggara negara terjebak dalam kubangan lumpur KKN, ia tidak segan-segan teriak keras melontarkan kritik: “Jangan memuja-memuja Pancasila, tetapi mengkhianatinya dalam praktik kehidupan sehari-hari” dengan berbuat KKN sesuka hati.
Buya gemas dan sedih sekali melihat jurang antara kaya dan miskin di tanah air masih sangat tajam. Ia menyatakan dari 5 sila dalam Pancasila, sila ke-5 yang paling tertinggal di buritan peradaban. Sila ke-5 disebut sebagai “yatim piatu” dan paling terlantar.
Amin juga menyoroti sikap Buya ketika melihat gelagat Front Pembela Islam (FPI) semakin ganas dan menjadi-jadi karena pemerintah tidak mengambil sikap yang tegas. Buya mengeluarkan pernyataan yang sangat berani bahwa FPI dan sejenisnya adalah ‘Preman Berjubah’.
“Dengan kritik dan pernyataan-pernyataan seperti itu Buya tidak gentar untuk dikucilkan oleh warga masyarakat Muslim,” kata Amin.
Dalam kegiatan ini perwakilan 4 lembaga menyampaikan sambutannya. Abd. Rohim Ghazali (Maarif Institute), Ade Armando (PIS), Goenawan Mohammad (Komunitas Salihara), dan Yudian Wahyudi (BPIP).
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd. Rohim Ghazali, menyatakan tujuan kegiatan ini adalah untuk mengapresiasi pikiran dan sumbangan Buya serta menyebarkan lebih luas lagi nilai-nilai yang dipegangnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketua PIS, Ade Armando, menyatakan Buya adalah salah satu manusia terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Gagasan dan teladannya sangat penting untuk terus dipelajari, mengingat Indonesia masih sering didera persoalan intoleransi dan ketimpangan sosial.
Redaksi Geotimes