Toleransi Lintas-Iman
Melimpahnya hasil pertanian berupa sayur-mayur dan keindahan panorama di sekitar lereng gunung Sumbing menjadi inspirasi bisnis oleh sebagian besar warganya. Saya sendiri, dengan mempertimbangkan potensi ini, telah membuka jasa supliyer sayuran untuk beberapa kafe dan rumah makan di Yogyakarta. Untuk kegiatan promosi di media sosial, saya bekerja sama dengan seorang fotografer untuk mendapatkan gambar-gambar yang cantik terkait sayuran maupun alam sekitar Nepal van Java.
Menariknya, Mas Edi Wibowo, nama fotografer tersebut, berasal dari latar belakang tradisi keagamaan yang berbeda dengan saya. Hal ini menjadikan saya semakin paham tentang pentingnya toleransi dan keberagaman dalam rangka mencapai kemajuan, baik dalam level individu, masyarakat maupun berbangsa.
Saat pulang ke kampung halaman, saya menyempatkan diri untuk bertemu dengannya, mengobrolkan banyak hal mulai dari isu pariwisata, isu-isu radikalisme, dan sastra. Berkunjung ke rumahnya, saya seperti menemukan teman diskusi yang menyenangkan. Apabila datang waktu sembahyang, saya melaksanakan salat di salah satu ruang pribadinya. Begitu juga sebaliknya. Ketika moment Idul Fitri datang, dia bertandang ke rumah saya untuk mengucapkan selamat hari raya dan bermaaf-maafan.
Toleransi Kembar
Kisah-kisah tentang toleransi di akar rumput, walau tampak sederhana, harus diarusutamakan dalam lanskap kehidupan sosial di Indonesia. seperti yang tercatat dalam laporan Setara Institute (2021) bahwa problem utama toleransi di negara ini yaitu berkaitan dengan kasus penodaan agama dan gangguan kepada tempat ibadah. Artinya, isu keagamaan menjadi domain utama dalam penguatan toleransi di negeri ini. Sementara itu, laporan the Wahid Institute (2020) menunjukkan bahwa kecenderungan ke arah intoleransi dalam sepuluh tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Baik akibat terjadinya kontestasi politik di level nasional, ujaran kebencian baik melalui pidato/ceramah maupun unggahan di media sosial.
Sebagai negara Pancasila, yang bukan negara sekuler maupun negara agama, kita mengharapkan nilai-nilai universal dari agama menjadi pemandu dalam etika dan moral publik. Seperti cerita di atas, kita menginginkan praktik keagamaan tidak disingkirkan ke dalam ranah privat dan, pada saat yang sama, juga tidak menginginkan agama mendominasi apalagi mendikte negara. Dalam hal ini, sebagaimana ditulis Yudi Latif (2012) Pancasila menghendaki terwujudnya pembedaan (diferensiasi) antara mana yang ranah agama dan mana yang menjadi wilayah negara.
Pancasila secara tegas tidak bersepakat pada bentuk pemisahan dengan menempatkan agama di ruang privat mapun penyatuan agama dan negara di mana agama menjadi penentu arah jalannya kehidupan berbangsa. Inilah yang kemudian dalam teori politik disebut sebagai toleransi kembar.
Narasi tentang toleransi masyarakat akar rumput sudah seharusnya turut menghiasi wajah media-media di Indonesia. Hal ini, tidak hanya berguna dalam merawat kebhinekaan NKRI, tetapi juga menjadi hal penting bagi kehidupan demokrasi itu sendiri. Toleransi akar rumput menjadi bukti yang kuat tentang seberapa bergairahnya masyarakat sipil di suatu negara. Sebab, masyarakat sipil-lah yang menjadi saluran ekspresi dan kepentingan berbagai kelompok di tengah masyarakat.
Pertanyaannya adalah: mampukah perjuangan toleransi di negara ini menjangkau pada pemberian perlindungan pada kelompok-kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah?
Sebagai penutup, saya akan menghadirkan satu kegelisahan yang dirasakan oleh Ronald Luken-Bull dalam salah satu tulisannya pada 2013 silam. Katanya,
“Islam Indonesia kini sedang berada di persimpangan jalan. Islam yang ramah dan menjadikan kebhinekaan sebagai cita-cita kini dihadapkan pada sikap sebagian pemeluknya yang justru menolak cita-cita tersebut. Akankah negara ini terus menjadi tempat di mana orang memiliki kebebasan dalam beragama? tidak hanya untuk memilih agama mana yang akan dianut, tetapi juga bagaimana mempraktikkannya? Setidaknya sebagai sebuah ideal?. Akankah negara ini terus menjadi tempat di mana tokoh intelektual seperti almarhum Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, dan tokoh kontemporer seperti Amin Abdullah dan Azyumardi Azra membangun opini publik untuk menciptakan masyarakat yang rasional, toleran, dan multi-agama? Atau akan semakin sempit dan intoleran bentuk-bentuk Islam mendominasi masyarakat. Kelompok intoleran yang menyerang peluncuran buku, melakukan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas, dan melakukan aksi teror merupakan bagian yang kecil namun menjadi bagian penting dari gambaran tersebut (Lukenbul: 2013, 148).” (mmsm)
*) Artikel ini adalah hasil kerja sama arrahim.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama
Selengkapnya baca di sini I