Tertangkapnya pimpinan Khilafatul Muslimin merupakan angin segar bagi bangsa ini. Mengapa tidak, karena beberapa hari yang lalu, ada sekitar puluhan orang yang mengampanyekan paham Khilafah di sejumlah daerah di negeri yang berdasarkan pada Pancasila ini. Tentu saja aksi mereka yang berusaha untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa dapat dikategorikan sebagai perbuatan makar terhadap negara.
Meski mereka berkilah bahwa aksi mereka tak bermaksud untuk melakukan makar terhadap negara. Namun, perlu diingat juga, ideologi mereka itu selalu mengkafirkan yang berbeda, bahkan mereka dengan lantang mengkafirkan negara Indonesia. Oleh karena itu, kebangkitan Khilafatul Muslimin tentu saja adalah warning bagi negara multikultural dan bagaimanapun caranya, pemerintah khususnya harus segera mengambil tindakan pencegahan.
Sebuah Ancaman
Sejauh amatan saya, alasan kuat mengapa mereka bebas aktif melakukan aksi kampanye khilafah karena belum ada regulasi yang mengatur. Bukankah UU Ormas berhasil melarang gerakan organisasi kemasyarakatan seperti Khilafatul Muslimin yang disinyalir bertentangan dengan Pancasila? Memang benar tapi, regulasi tersebut hanyalah melarang organisasinya bukan ideologinya.
Lalu, jika memang paham khilafah merupakan ancaman bagi negara, mengapa pemerintah tidak segera membuat regulasi pencegahan? Kemudian, apakah pemerintah bekerja setengah hati dalam memberantas ideologi yang berusaha mengganti Pancasila?
Sejauh yang saya ketahui, di satu sisi, hadirnya UU Ormas tersebut menandakan bahwa kedaulatan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) telah terganggu. Di sisi lain, dibubarkannya HTI dan FPI adalah bentuk nyata bahwa pemerintah tak ada kompromi terhadap kelompok ataupun ormas yang aktivitasnya mampu (atau dianggap) merongrong kedaulatan negara.
Meski demikian, perlu digaris bawahi bahwa, ideologi hanya bisa dilawan dengan ideologi. Terlepas dari itu, pemerintah perlu mengkaji peristiwa bangkitnya Khilafatul Muslimin dan bila perlu buat regulasi pelarangan atas menjamurnya paham-paham yang berseberangan dengan Pancasila. Mengingat, peristiwa kampanye khilafah tidak bisa ditolerir lagi.
Oleh karena itu, upaya pembumian Pancasila merupakan suatu kebutuhan bagi bangsa ini, baik kini dan nanti. Lebih-lebih sekarang, radikalisme dan segala bentuknya termasuk paham Khilafah telah menjadi arus kecil yang ingin menggeser lima dasar negara kita. Artinya, paham khilafah misalnya, sekali lagi, bukan sekadar masalah besar bagi bangsa ini melainkan sebuah ancaman bagi Pancasila. Meski begitu, Pancasila bukanlah mantra yang hanya bisa dilafalkan tetapi, ia merupakan nilai, pandangan hidup, yang mesti diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, secara akademik maupun yuridis, Pancasila adalah fakta sejarah yang tak dapat terbantahkan. Oleh karena itu, Pancasila sebagai ideologi bangsa ini perlu dijaga dan dirawat oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan perkataan lain, hidupnya Pancasila itu bergantung pada pengalaman anak bangsanya.
Persoalannya adalah bagaimana cara kita melawan atau bahkan memberangus paham transnasional seperti khilafah?
Pancasila, Pesan dan Harapan
Sukarno, sebagai penggali Pancasila dan Proklamator Kemerdekaan Indonesia, memang sudah lama meninggalkan kita semua, bahkan tulang belulangnya pun juga sudah kembali menjadi tanah. Namun, ada hal yang masih membekas dalam ingatan bangsa ini yakni, sejarahnya dalam mempersatukan dan memerdekakan bangsa ini menjadi sebuah negara yang berkepribadian luhur. Ringkasnya, Pancasila adalah pesan dan harapan Sukarno — serta para pendiri bangsa lainnya—untuk anak bangsanya.
Tentu, adalah tugas mulia menjaga dan menginterpretasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Menginternalisasi nilai-nilai Pancasila itu sama baiknya dengan melawan paham transnasional yang berusaha mencabut akar nilai-nilai Pancasila dari bumi Indonesia. Inilah amanah pendiri bangsa yang perlu kita jaga. Lantas, bagaimana menjaga amanah ini?
Menjaga amanah itu berbanding lurus dengan keimanan seseorang. Karena, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin besar pula rasa bersyukurnya atas bangsa ini. Maka, adalah tepat langkah yang diambil para pendiri bangsa yang menempatkan kepercayaan individu kepada Sang Khalik atau Tuhan Yang Maha Esa sebagai prinsip dasar pertama dalam Pancasila, yang menjadi pembuka dan penutup sekaligus.
Meminjam bahasanya Aziz Anwar Fachrudin dalam Polemik Tafsir Pancasila (2018), Pancasila kini sudah “dikunci” dalam konstitusi. Bersamaan dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pembukaan UUD 1945 (yang mengandung sila-sila Pancasila) tidak dapat diubah.
Dengan demikian, sebagai warga negara Indonesia, saya katakan bahwa gagasan-gagasan besar yang tertuang dalam Pancasila atau uraiannya termuat, baik dalam kursus Pancasila tahun 1959 dan pidato Sukarno pada sidang PBB tahun 1960 amatlah relevan, terutama dalam menangkal ideologi Khilafah. Oleh karenanya, adalah tugas kita untuk melanjutkan pesan dan harapan Sukarno pada perlunya membangun peradaban dunia yang lebih adil.