NKRI

Kapan Sejarah Kemerdekaan Indonesia Harus Mulai Ditulis

4 Mins read

Heboh tentang Buku Kamus Sejarah Indonesia. Di luar bahwa sangat disayangkan diabaikannya nama KH Hasyim Asyari –pendiri Nahdlatul Oelama dan salah satu pendiri bangsa Indonesia– dan diposisikannya nama Abdurrahm Wahid atau Gus Dur tidak menjadi entri tersendiri melainkan hanya dijadikan penjelas bagi tokoh lain, sebenarnya ada masalah yang mendasar tentang penulisan sejarah kemerdekaan Indonesia. Dan boleh jadi, inilah akar masalah dari produk tersebut.

Para sejarawan dan juga pemerintah secara formal pada umumnya menulis sejarah kemerdekaan Indonesia dimulai dari apa yang disebut Kebangkitan Nasional. Kalau pun ada perdebatan maka hanya di sekitar kapan dan siapa tokoh kebangklitan nasional pertama di akhir abad XIX atau awal abad XX. Penuisan sejarah Indonesia secara konvensional seperti itu melupakan banyak sekali hal dalam dinamika perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan tuntutan kamandirian dan kemerdekaan.

Dalam temuan riset saya, sejarah kemerdekaan Indonesia harus dimulai dari terbentuknya Pemerintanahan Hindia Belanda 1 Januari 1800 dengan perlawanan-perlawanannya setelah dibekukannya VOC 31 Desember 1799. Di hari itulah titik pangkal kebangsaan Indonesia harus dilihat. Karena pada saat itulah sistem penjajajhan yang sistemik dimulai dengan kerangka negara-bangsa (nation-state).

Dalam perspektif internasional dan dinamika Eropa pembentukan negara-bangsa ini merupakan konsekuensi dari Perjanjinan Wina, Austria 1815 untuk mengatasi perang terus menerus bangsa Eropa untuk saling menguasai dan konflik batas-batas penjajahan di luar Eropa. Karena waktu itu, belum ada kesepakatan umum secara internasional tentang pinsip batas negara. Batas negara  masih didasarkan pada kekuatan kekuasaan masing-masing kerajaan dan entitas politik. Aksi intervensi dan agresi  Nepoleon Bonaparte memberi pengalaman buruk bagi Eropa dan bahkan seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat. Namun, sebagian sejarawan berpandangan bahwa bentuk negara-bangsa sesungguhnya sudah dimulai di dunia Islam ketika beberapa wilayah Imperium Turki Ustmani memisahkan diri menjadi negara mandiri.

Setelah Belanda dijajah oleh Prancis dan kemudian Prancis diperintah oleh Napoleon Bonapartai, satu-satunya lawan paling tangguh Prancis adalah Inggris. Di lain pihak, ketika itu pasukan AL Inggris sudah mengepung lautan Asia Tenggara dan di sekitar Jawa untuk mengambil alih Jawa satu-satunya wilayah yang dikuasai Belanda yang tersisa. Napoleon menunjuk adiknya, Louis Bonaparte, menjadi raja jadi-jadian atas Belanda, mengirim pensiunan marskal satu-satunya angkatan laut Prancis berkebangsaan Belanda pengagum Napoleon, Daendels, untuk memberesi rencana agresi Inggris yang berpangkalan di India tersebut.

Dari sinilah penghancuran kebudayaan lokal dan Islam nusantara, khususnya Jawa (karena waktu itu tinggal Jawa yang dikuasai oleh Belanda) dimulai. Penghancuran itu mulai dari sekularisasi keras atas kehidupan masyarakat dan pemerintahan sebagaimana dilakukan Napoleon Bonapartai atas Prancis dan wilayah lainnya hingga membonsai kedudukan sultan; memotong relasi Sultan-Ulama dan rakyat; menggantikan para priyayi (angkatan muda bangsawan calon pemimpin kerajaan) dalam struktur  keraton dengan aparat yang diangkat oleh PHB (kemudian merebut penamaan priyayi). Tugas mereka disamping melaksanakan target-target PHB juga mengawasi gerak gerik politik para ulama atau kyai dan rakyat yang potensial menentang pemerintah.

Itu adalah akselerasi kebijakan awal Daendels yang datang pada 1808.  Yang paling krusial dari sistem itu adalah akomodasi atau absorbsi paham kebudayaan feodal karena Kesultanan sudah tidak berfungsi sebagai pemerintahan yang efektif dalam sistem modern tersebut: doktrin bahwa “Pengeran atau Raja adalah pemilik multak tanah yang merupakan titisan dari Dewa” diberlakukan. Doktrin ini diberlakukan bukan atas nama Sultan dan Kesultanan melainkan atas nama pemerintahan modern di bawah Gubernur Jenderal yang bertujuan untuk efektivitas eksploitasi baik secara paksa dan kekerasan seperti cultuurstelsel maupun dengan cara ‘lunak’ seperti politik etis.

Hasilnya bukan untuk dipersembahkan kepada Sultan sebagaimana sebelumnya melainkan untuk dipersembahkan kepada negeri Belanda yang sedang bangkrut. Dari sinilah doktrin dualisme pajak, tanam paksa dan kerja paksa diberlakukan. Dan kebijakan ini selanjutnya diberlakukan ke seluruh nusantara setelah PHB merambah ke wilayah-wilayah yang kemudian disebut Wilayah Hindia Belanda. Peter Carey misalnya menyebut kebijakan ini sebagai penghancuran terhadap Tata Aturan Jawa Lama (Destruction of Old Java Order).

Dari sini pula bangkitnya kesadaran akan hak dan kemandirian yang antara lain yang paling menonjol dipelopori oleh Pangeran Diponegoro yang didukung oleh para ulama yang disingkirkan dalam sistem politik sekularisme PHB. Pangeran Diponegoro sejak kecil tidak tinggal di dalam keraton meskipun terlibat dalan pengelolaan Kesultanan sebagai penasehat menejemen dan keuangan. Ia adalah pangeran yang paling kaya namun tinggal di luar keraton. Kedudukan itu membuat ia bisa melihat secara jernih apa yang sedang terjadi pada keraton yang sedang diokupasi oleh PHB: yaitu hancurnya seluruh kebudyaan Jawa dan Islam mulai dari sistem pemerintahan yang kini menindas dan menyingkirkan peran ulama serta terputusnya hubungan Sultan dengan rakyat dan peran mediasi para ulama; serta hancurnya etika kehidupan sosial hingga etiket atau perilaku sehari-sehari orang dalam keraton yang mengikuti tradisi PHB.

Karena itulah Pangeran Diponegoro yang didukung oleh para ulama yang disingkrikan dari sistem politik yang semula sebagai mediator rakyat dan keraton  dan sultan, serta hubungan religius antar mereka karena sebagian sultan dan para pengeran adalah pengikut tarekat di bawah bimbingan para ulama atau kyai tersebut. Situasi ini terjadi secara menyeluruh ke seluruh wilayah Hindia Belanda bersmaaan dengan perluasan wilayah yang kini menjadi wilayah Republik Indonesia. Pola seperti itulah terjadinya perlawanan dan pemberontakan di seluruh wilayah Hindia Belanda ketika itu.

Menurut Peter Carey dan van der Kroef, perlawanan Pangeran Diponegoro dan para pendukungnya, ulama dan rakyat dan sebagian para pejabat pribumi keraton, inilah yang memicu kesadaran akan hak, kemandirian dan persatuan seluruh nusantara sebagai satu kesatuan kebudayaan yang kemudian menjadi satu bangsa: Bangsa Indonesia. Para pejuang kemerdekaan belakangan juga menggunakan kata Nusantara ini sebagai alat pemersatu untuk melawan penjajahan tersebut. Jadi kesinambungan itu begitu erat dan bersifat kontinu dalam perjuangan kemerdekaan. Namun para sejarawan (hingga kini) umumnya adalah hasil didikan politik etis bukan hanya dalam data dan metodologi melainkan dalam ideologi ilmu pengetahuan sehingga berusaha atau setidak-tidaknya langsung maupun tidak langsung mendistorsi kontiuitas sejarah antara perlawanan sebelumnya dengan apa yang disebut “kebangkitan nasional” sebagai seolah-olah sumbangan politik etis semata-mata.

Perlawanan dan pemberontakan di seluruh wilayah nusantara yang kalau bukan seluruhnya maka sebagian sangat besar diinspirasi oleh jaringan tarekat. Hal itu bukan hanya karena ide keislaman mereka melainkan ada realitas penindasan dalam ekonomi dan penyingkiran agama dan ulama berbasis pada doktrin sekularisme. Gerakan-gerakan tarekat inilah yang paling awal tersentuh oleh model sekularisme PHB dan penindasan rakyat yang diimplementasikan dan dipaksakan melalui pemerintanhan sekuler dengan menyingkirkan paran ulama serta eksploitasi ekonomi dan kebudayaan kepada rakyat, karena tarekat sangat dekat dengan kehidupan rakyat sehari-hari,

Sebagai bagian dari komunitas santri dan kyai yang dihancurkan sejak setidaknya penangkapan Pangeran Dipongoro dan berlanjut kapada para pemimpin perlawanan berbagai daerah, maka penulisan sejarah kebangkitan nasional harus ditulis kembali dimulai dari sana. Dimulai dari perlawanan terhadap sistem pemerintahan Hindia Belanda yang menerapkan sekularisme dan sistem modern-feodal tersebut. Peninjauan kembali terhadap penulisan sejarah ini harus pula melakukan review terhadap sistem modern-feodal yang tampaknya masih tertanam hingga kini. Tilikan yang mendalam dan kritis terhadap gerakan sosial Pangeran Diponegoro sesungguhnya mengisyaratkan tawaran suatu sistem politik yang berbasis rakyat dengan memberikan tempat bagi peran ulama dan budayawan sebagai bagian dari sistem politik namun posisi mereka bukan sebagai bagian dari kekuasaan melainkan mediating institution dalam sistem poilitik sebagaimana sistem demokrasi modern.

Pertanyannya, apakah cukup tersedia sejarawan atau penulis sejarah yang memiliki ideologi atau setidaknya komitmen dengan kompetensi yang cukup dengan tuntutan seperti itu, khususnya di komunitas pesantren dan NU? Wallohu a’lam bi ash-shawab.

Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA. Peneliti Islam Asia Tengara, menyelesaikan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2118 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
NKRI

Haji Fachrodin, Tokoh Muhammadiyah di Jalur Kiri

6 Mins read
Tokoh utama di Muhammadiyah yang telah terinfiltrasi ideologi Marxisme adalah Haji Fachrodin, salah seorang murid ideologis K.H. Ahmad Dahlan. Bagaimana lika-liku beliau…
NKRI

Pandangan Historis Kenapa Kalimantan Timur Jadi Ibu Kota Negara

1 Mins read
Kutai itu kalau diibaratkan dengan buku Pramoedya Ananta Toer adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Selain karena Kutai adalah awal kerajaan…
NKRI

Naifnya Pengedar Khilafah dalam Merusak Bangsa Indonesia

2 Mins read
Bagi para pengedar paham khilafah, perbedaan jatuhnya bulan Ramadan di Indonesia dianggap salah. Mereka kira, perbedaan ini bentuk dari persoalan dan ketidakakuran…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *