Sering kita dengar, bahwa perbedaan adalah sunnatullah atau hukum alam yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Kenyataan ini membuat kita harus menerima segala ketentuan Tuhan. Salah satunya adalah kenyataan tentang perbedaan. Siapa yang bisa menolak perbedaan? Mau tidak mau, kita perlu merawat perbedaan dengan saling menghargai perbedaan satu sama lain agar mampu menjaga kerukunan.
Berkenaan dengan penjelasan di atas, saya memiliki pengalaman atas ini. Saya hidup di lingkungan NU (Nahdlatul Ulama), salah satu organisasi besar di Indonesia. Di Madura, tempat tinggal saya, organisasi ini merupakan organisasi yang hampir diikuti oleh semua masyarakat madura. Bahkan, di kalangan pergaulan serta teman-teman saya, jokes yang sering muncul adalah agama masyarakat Madura itu NU.
Kenyataan ini berbanding lurus dengan pengalaman kecil yang saya alami. Dalam sebuah pertemanan bersama anak-anak Muhammadiyah, saya justru merasa bahwa, mereka adalah tidak sama dengan saya. Bahkan, yang terbesit dalam pikiran saya waktu itu, adalah mereka bukan bagian dari Islam. Mereka tidak tahlilan, tidak melaksanakan maulid nabi, hingga euphoria merayakan hari raya idul fitri berbeda.
Asumsi itu diperkuat dengan banyaknya masyarakat NU di lingkungan saya. Mereka yang Muhammadiyah, adalah orang-orang minoritas. Lambat laun, persepsi semacam itu pula bertambah dengan semakin banyak pengetahuan tentang organisasi lain, seperti: LDII (Lembaga dakwah Islam Indonesia), Sarekat Islam (SI), dll.
Lebih jauh, asumsi itu bertambah dengan mengetahui ada agama lain selain Islam, serta membuat kita cenderung memiliki kebencian yang berdasarkan pengetahuan saya yang sangat pendek.
Kebencian Agama Membuat Kita Pecah
Suatu waktu, saya bertemu dengan seorang pendeta perempuan, yakni Mike Makahenggang. Saya menyebutnya dengan panggilan Kak Mike, orang yang dengan pengalaman hidup luar biasa. Berasal dari Ambon, ia saksi nyata dari konflik Ambon pada tahun 1999 silam. Momen masa kecilnya bercerita bahwa, pada konflik Ambon, ia melihat pamannya dibunuh oleh umat Islam. Trauma itulah yang menjadi faktor kebenciannnya terhadap umat Islam pada saat itu.
Namun, perjalanan hidup membawanya ia ke Yogyakarta untuk belajar, mengenyam pendidikan serta bertemu dengan banyak orang berbeda, termasuk orang Islam. Persepsi tentang umat Islam lambat laun kian berubah. Dahulu ia menganggap bahwa orang Islam adalah orang yang jahat, suka membunuh. Momen itu anggapannya berbeda.
Kini persepsinya tentang umat Islam jauh berbanding dengan masa lalunya. Apalagi ketika di menjadi bagian dari Srikandi Lintas Iman (Srili), salah satu organisasi lintas iman yang diikuti oleh perempuan di Yogyakarta, ia bisa hidup damai bersama perempuan lintas iman, serta di dalamnya ada perempuan muslim pula.
Pengalaman kak Mike nyatanya bisa menjadi refleksi kepada kita bahwa, persepsi buruk tentang umat lain yang berbeda dengan kita, membuat diri semakin acuh tak acuh dalam menghadapi perbedaan. Apalagi ketika pengalaman secara riil menjadi faktor kebencian itu, maka yang harus dilakukan justru berdamai dengan diri sendiri agar bisa menerime kehadiran orang lain.
Sebab kebencian yang kita miliki, hanya kebencian kepada pelaku itu, bukan kepada agama bahkan semua pengikut agama tersebut. Maka merupakan kesalahan apabila, kebencian tersebut kita generalkan kepada semua pengikut agama. Sebab mereka tidak bersalah dan tidak melakukan perbuatan keji itu. Jika kebencian itu, terus tertanam dalam diri, akan menimbulkan perpecahan dan konflik sosial yang tidak berkesudahan.
Open Mindset dan Terus Belajar
Apa yang saya alami di masa silam, nyatanya berbanding terbalik hari ini. Semenjak saya belajar berteu di sebuah perjumpaan yang berbeda, bertemu dengan orang yang berbeda, mindset yang ada dalam diri juga berbeda. Kini, perbedaan saya pikir untuk kita rawat bersama. Saya tidak bisa memaksa orang untuk sama dengan saya, sebaliknya juga demikian.
Di sisi lain, saya yakin bahwa, apa yang saya alami tidak hanya dialami oleh saya. Namun, pengalaman ini juga dialami oleh anak-anak muda yang lain. Menjadi kewajaran ketika, kita mengalami kegalauan atas apa yang dipahami, termasuk soal pikiran tertutup dalam menghadapi perbedaan dan keniscayaan yang ada di Indonesia. Hidup di lingkungan homogen membuat kita berpikir klaim kebenaran yang terus mengkungkung diri.
Baik pengalaman kak Mike dan pengalaman saya adalah bukti bahwa hidup adalah proses perjalanan hidup yang tidak lengkang oleh waktu. Pengalaman, pemahaman dan trauma masa lalu, lambat laun akan berubah seiring dengan sikap kita mau belajar, bertemu dengan banyak orang berbeda, serta mengasah cara berpikir untuk memandang perbedaan.
Saling menghargai, toleransi antar umat beragama merupakah salah satu pijakan utama kita untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Toleransi sangat penting untuk kita miliki karena, hidup di tengah masyarakat harus terus merawat persatuan dan kesatuan. Jangan jadikan perbedaan sebagai pijakan untuk merawat kebencian dan konflik. Wallahu A’lam.