Dalam percaturan politik, sering kali muncul istilah politik identitas yang mengaitkan seorang pejabat dengan agamanya. Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah politik butuh Islam, atau sebaliknya, apakah Islam butuh politik?
Diskusi seperti ini seringkali mencuat, terutama ketika calon legislatif (caleg) mencoba memasukkan unsur keagamaan ke dalam dunia perpolitikan, dengan klaim bahwa pemimpin seharusnya berasal dari kalangan Muslim.
Artikel ini akan mengeksplorasi perspektif Al-Quran terkait dengan isu hubungan politik dengan Islam atau isu-isu politik identitas.
Keterkaitan Politik dan Islam
Pertanyaan apakah non-Muslim boleh diangkat sebagai pemimpin adalah fenomena klasik yang terus memicu perdebatan di kalangan ulama dan cendekiawan Muslim.
Dalilnya adalah ayat Al-Quran, seperti Surat Al-Ma’idah ayat 51:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (QS: Al-Maidah: 51).
Ayat ini sering dijadikan rujukan, namun penting untuk merenung lebih dalam. Meskipun ayat tersebut menyarankan agar orang-orang muslim tidak mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, hal itu tidak dapat diartikan sebagai larangan mutlak mengangkat pemimpin dari kalangan non-Muslim.
Maka dari sini saya akan menjelaskan dulu apa artinya itu pemimpin, karena banyak sekali istilah-istilah yang menyangkut perihal pemimpin dalam Al-Quran.
Istilah kepemimpinan dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari kata “Pimpin” yang mempunyai arti “Dibimbing”. Sedangkan kata pemimpin itu sendiri mempunyai makna “orang yang memimpin.”
Jadi kepemimpinan adalah cara untuk memimpin. Sedangkan menurut Veithzal Rivai dalam bukunya, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, kata pemimpin juga berasal dari kata leader (pemimpin) leadership (kepemimpinan).
Kata ini muncul sekitar tahun 1300-an. Teori ini terbatas hanya mencari sifat-sifat kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin yang berarti kepemimpinan itu dibawa sejak lahir atau bakat bawaan.
Pemimpin diartikan juga sebagai individu yang menduduki suatu status tertentu di atas individu-individu yang lain di dalam suatu kelompok, dapat dianggap seorang pimpinan. Hal ini memungkinkan bahwa dalam menduduki posisinya melalui pemberian atribut-atribut secara formal atau tertentu.
Jika melihat arti pemimpin dalam bahasa Arab dan disebutkan di dalam Al-Quran al- Karim. Makna pemimpin digunakan dalam beberapa istilah.
Macam-macam Istilah Pemimpin
Pertama, khalifah (الخليفة)
Kata Khalifah dalam Kamus al-Munawwir disebutkan الخليفة jamak dari kata خلفاء yang artinya pengganti. Khalifah (خليفة) berasal dari akar kata khalafa-yakhlufu-khalfan-khilafatan (خالفة خلفا يخلف خلف), yang memiliki arti pergantian.
Jadi, khalifah secara etimologis bermakna pengganti, belakang, perubahan, atau suksesi. Siapapun yang menggatikan peran dan fungsi seseorang, disebut khalifah.
Sayyidina Abu Bakar Shiddiq menggantikan Rasulullah Muhammad ﷺ sebagai kepala negara atau pemerintahan Madinah, disebut atau dipanggil sebagai khalifah Rasulullah ﷺ.
Disebut khalifah karena yang menggantikan selalu di belakang atau datang belakangan sesudah yang digantikan. (Sahabuddin, et.al., Ensklopedi al-Qur’an Kajian Kosa Kata, Lentera Hati, Jakarta, Juz. III, 2007, h. 829).
Kedua, Imam
Selain khalifah, ada juga yang menyebutnya dengan istilah imam dalam arti kepemimpinan. Sejak awal istilah imam sudah digunakan menyebut orang yang memimpin shalat berjamaah.
Imam suatu istilah yang berarti pemuka yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan bagi umat islam. istilah yang demikian erat dengan dimensi keagamaan, lain halnya penggunaan istilah khalifah bukan imam, bagi Abu Bakar oleh para pengikutnya.
Kata Imam dari akar kata يأم – أم, yang berarti “pergi menuju, bermaksud kepada dan menyengaja”. Menurut Dr. Ali As-Salus dalam bukunya menyatakan bahwa “Imam artinya pemimpin seperti ketua atau yang lainnya, baik dia memberikan petunjuk ataupun menyesatkan”. (Ali as-Salus, Imamah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, Terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta, Gema Insani Press, 1997, h.5).
Disamping itu, Imam juga berarti misal (contoh, teladan). Imam juga berarti benang yang dibentangkan di atas bangunan untuk dibangun dan guna menyamakan bangunan tersebut. (Ibn Mukrim Ibn Mansur al-Misri, Lisan al-Arab, Dar-adil, Beirut, Juz XII, t.th, h.22).
Dalam al-Quran kata Imam pada Surah; al-Isrā ayat 71, disebutkan:
يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ اُنَاسٍۢ بِاِمَامِهِمْۚ فَمَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِيَمِيْنِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ يَقْرَءُوْنَ كِتٰبَهُمْ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا
“(Ingatlah) pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya. Maka, siapa yang diberi catatan amalnya di tangan kanannya, mereka akan membaca catatannya (dengan bahagia) dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun.” (QS: Al-Isra’: 71).
Ketiga, Amir
Kata amir jamak dari amara memiliki lima makna pokok, yaitu antonim kata larangan, tumbuh atau berkembang, urusan, tanda, dan sesuatu yang menakjubkan. Kata amir merupakan bentuk isim fi’il dari akar kata amara yang berarti memerintahkan atau menguasai. (Ahmat Warson Munawir, Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, cet. XIV, 1997), h. 1466).
Namun bila merujuk ke dalam Al-Quran tidak pernah ditemukan kata amir, yang ada hanya kata Ulilamri yang mengarah kepada makna pemimpin, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang arti Ulilamri tersebut. Ada yang menafsirkan dengan kepala negara, pemerintah dan ulama.
Bahkan orang-orang Syi’ah juga mengartikan Ulilamri dengan imam-imam mereka yang ma’sum.
Seperti dalam al-Quran Surat an-Nisa ayat 59:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS: An-Nisa’: 59)
Keempat, Auliya
Kata اولياء auliya adalah bentuk jamak dari kata ولي waliy. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf wawu, lam, dan ya, yang makna dasarnya adalah dekat.
Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru seperti pemimpin, penguasa, pembela, pelindung, yang mencintai, dan lain-lain.
Kata tersebut merupakan satu bentuk kedekatan kepada sesuatu yang menjadikan terangkat dan hilangnya batas antara yang mendekat dan yang didekati dalam tujuan kedekatan itu.
Kalau tujuan dalam konteks ketakwaan dan pertolongan, auliya adalah penolong-penolong, apabila dalam konteks pergaulan dan kasih sayang auliya adalah ketertarikan jiwa, dan kalo dalam konteks ketaatan, waliy adalah siapa yang memerintah dan harus ditaati ketetapannya.
Contoh dalam sejarah perkembangan pemerintahan Islam, kalimat waliy terpakai untuk gwilayah yang besar, misalnya Amr bin al-Ash menjadi waliy di Mesir, Muawiyyah bin abu Sufyan sebelum menjadi khalifah pertama bani Umaiyah adalah waliy di Negeri Syam. (Rohmat Syariffudin, Pengangkatan Pemimpin Non-Muslim Dalam Al-Qur’an (Studi Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsīr Al-Miṣbāh). SKRIPSI lmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits, perpustakaan UIN Walisongo Semarang, 2015).
Menurut al-Asfahani, kata ini berarti takut yang disertai dengan usaha memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti. Dengan demikian, seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab tersebut sehingga tugasnya dilakukan penuh hati-hati, disertai upaya untuk memperbaiki diri sendiri dan orang yang dipimpinnya16 hanya ditemukan satu kali.
dalam Al-Quran, yakni pada QS. Al-Hadid ayat 27.
ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَاٰتَيْنٰهُ الْاِنْجِيْلَ ەۙ وَجَعَلْنَا فِيْ قُلُوْبِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ رَأْفَةً وَّرَحْمَةً ۗوَرَهْبَانِيَّةَ ِۨابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنٰهَا عَلَيْهِمْ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ رِضْوَانِ اللّٰهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۚفَاٰتَيْنَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْهُمْ اَجْرَهُمْ ۚ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ
“Kemudian, Kami meneruskan jejak mereka dengan (mengutus) rasul-rasul Kami dan Kami meneruskan (pula dengan mengutus) Isa putra Maryam serta Kami memberikan Injil kepadanya. Kami menjadikan kesantunan dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniah (berlebih-lebihan dalam beribadah). Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Akan tetapi, (mereka mengada- adakannya dengan tujuan) mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Maka, kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya dan di antara mereka banyak yang fasik.” (QS: Al-Hadid: 27).
Lantas dengan pemerintahan politik dipimpin oleh Islam?
Sebenarnya dalam ayat Al-Maidah ayat 51 tersebut, apakah kita dilarang secara mutlak untuk mengangkat pemimpin dari kalangan non-Muslim? Di Surat Al-Baqarah ayat 30, Allah mengatakan:
وَاِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلٰٓٮِٕكَةِ اِنِّىۡ جَاعِلٌ فِى الۡاَرۡضِ خَلِيۡفَةً ؕ قَالُوۡٓا اَتَجۡعَلُ فِيۡهَا مَنۡ يُّفۡسِدُ فِيۡهَا وَيَسۡفِكُ الدِّمَآءَۚ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَؕ قَالَ اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS: Al-Maidah: 51).
Surat Al-Baqarah ayat 30 menunjukkan bahwa manusia diberi kekuasaan oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi, mengelola dan memakmurkannya. Dengan demikian, pemimpin harus dapat memimpin dengan keadilan, memastikan kesejahteraan, dan mematuhi perintah Allah.
Kedudukan dan tanggung jawab ini menjadikan manusia bertanggung jawab atas perbuatan mereka sebagai khalifah Allah di bumi, jadi sebenarnya yang harus jadi pemimpin dimuka bumi ini orang muslim atau manusia?
Perdebatan Boleh-tidaknya Non-Muslim jadi Pemimpin Muslim
Dalam konteks bernegara, pemimpin dibutuhkan untuk mengatur, menjaga, dan melindungi masyarakat. Kepala negara tidak hanya menjamin keselamatan dan hak milik rakyat, tetapi juga menegakkan peraturan hukum dan perintah Allah.
Eksistensi pemimpin negara mencerminkan prinsip-prinsip esensial yang ditemukan dalam Al-Quran, seperti keadilan, persaudaraan, ketahanan, kapatuhan, dan kehakiman.
Pertanyaan mengenai apakah non-Muslim dapat menjadi pemimpin orang Muslim, memicu perdebatan di kalangan ulama. Sebagian berpendapat bahwa larangan tersebut bersumber dari ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan bahwa pemimpin seharusnya berasal dari kalangan Muslim.
Namun, pandangan lain menekankan bahwa esensi perdebatan seharusnya fokus pada kemampuan seorang pemimpin. Bagaimana ia memimpin masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan adalah esensi utama, sesuai dengan ajaran Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad ﷺ.
Kesimpulan
Hubungan antara politik dan Islam melibatkan pemahaman mendalam terhadap peran pemimpin dalam konteks keislaman. Penting untuk melihat bahwa Islam mengajarkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umatnya.
Kepemimpinan bukan semata-mata soal agama, tetapi lebih pada bagaimana seorang pemimpin mampu memimpin dengan adil dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, yang diukum bagi pemimpin, adalah kemampuannya dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan sesuai dengan ajaran Islam.*