Jumat, 3 September 2021 peristiwa begitu sangat disayangkan kembali terjadi pada Jamaah Ahmadiyah. Setelah solat Jumat, sebuah masjid milik Jamaah Ahmadiyah di Sintang dibakar oleh ratusan orang dengan teriakan takbir sambil membawa bensin. Perusakan tersebut dilakukan secara sadar.
Kejadian ini mengingatkan saya pada sebuah pertemuan ketika kegiatan “Kapten Toleransi” yang digelar oleh Indika Foundation pada 2019 silam. Singkat cerita saya berkenalan dengan seorang perempuan jamaah Ahmadiyah. Pada kegiatan tersebut, kami sempat bercerita tentang pola keberagamaan yang kami lakukan, termasuk organisasi yang kami ikuti.
Ada hal yang menjadi gamang ketika pembicaraan kami dimulai dengan organisasi keagamaan. Katanya, pernah suatu ketika ia bertemu dengan seorang perempuan dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), kemudian ketika perempuan itu mengetahui bahwa teman saya ini Ahmadiyah, justru respon kurang baik diterimanya.
Saya masih ingat betul, ketika dia mempertanyakan “Masih maukah kamu berteman denganku?”, pertanyaan pertama kali yang saya terima dalam menjalani relasi pertemanan. Saya justru terheran-heran kadang, ketika masih menemukan orang yang membatasi diri berteman, bekerja sama dengan orang yang berbeda paham keagamaan. Bagi saya justru baik, sebab sikap inklusif memang perlu kita terapkan dalam kehidupan yang sangat beragam ini, termasuk sikap fleksibel dalam berhadapan dengan siapapun yang berbeda ras, suku, budaya termasuk agama.
Kejadian itu sebenarnya belum seberapa jika dibandingkan dengan stigma negatif yang melekat ketika memulai kehidupan dengan sosial yang semakin luas. Tidak jarang, ruang aman untuk hidup menjadi jamaah Ahmadiyah masih dipertanyakan. Padahal, kita hidup di negara yang memiliki banyak sekali agama, suku ras, budaya, termasuk aneka ragam pemahaman keislaman yang dipahami dalam ormas-ormas Islam.
Memaknai kemerdekaan, bukankah juga seharusnya para rakyat berhak merdeka dalam menentukan pemahaman agama yang dianutnya, serta kebebasan dalam menjalankan keyakinan dan keagamaannya.
Fakta ini tercantum pada pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan “bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Ini artinya bahwa seyogyanya negara menjamin dengan tanggung jawab penuh ruang aman bagi para pemeluk agama manapun, yang masih dalam naungan Indonesia agar tidak usik kenyamanan beribadah masyarakatnya. Sudahkan negara menjamin itu?
Toleransi pondasi keberagaman dan keberagamaan
Bahwa seyogyanya apa yang yang terjadi pada Jamaah Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat merupakan absennya toleransi yang seharusnya terpatri pada diri masyarakat. Membakar Masjid dengan teriakan takbir yang dikumandangkan bukanlah perbuatan mulia, justru menciderai kebebasan beragama orang lain.
Secara relasi sosial, atau kita kenal dengan “Hablum Minannaas”, adalah PR toleransi yang tidak pernah selesai untuk kita bicarakan. Sikap toleran belum bisa dilaksanakan dengan baik. Nyatanya, memang tidak mudah melaksanakan sikap toleran yang sering kita koar-koarkan dalam tulisan, dalam orasi bahkan dalam segmen kehidupan apapun. Kita perlu selesai dengan diri sendiri, termasuk ego untuk tidak merasa benar, merasa paling superior menjadi masyarakat, dll.
Ketika sebagian masyarakat kita merasa superior, merasa paling benar adalah konsekuensi yang tidak akan hilang dalam peradaban. Sebab kondisi ini akan tercipta afirmasi yang semakin banyak untuk mendukung kelompok superior itu sendiri.
Sama seperti halnya ketika meganggap bahwa Jamaah Ahmadiyah tidak berhak hidup dalam ruang lingkup Indonesia, sebab alasan-alasan teologis yang diikuti adalah sesat, misalnya. Alasan ini dijadikan pembenaran untuk bersikap semaunya, menghilangkan sisi kemanusiaan yang tidak boleh kita labrak hidup sebagai manusia.
Setiap agama barangkali kita perlu telaah lebih jauh,apa yang disampaikan oleh Muḥammad az-Zuḥaili, bahwa agama ada untuk mewujudkan kebahagiaan bagi kehidupan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Maka sikap keberagamaan ini berkaitan erat dengan interpretasi atau pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci, akan tampil berbeda dalam setiap umat beragama.
Islam yang ditampilkan oleh pembakar masjid Ahmadiyah adalah Islam yang marah-marah. Padahal Allah tidak menyukai umatnya yang marah-marah, relasi sosial keberagamaan yang ditampilkan begitu menakutkan, sehingga membuat kelompok beragama lainnya merasa terancam. Lalu, sudahkah kita bersikap toleran selama ini? Wallahu a’lam