Manusia diciptakan dengan keterbatasan, tetapi selalu membuat batasan untuk setiap keterbatasan. Francis Bacon yang terkenal sebagai filsuf asal Inggris memiliki kebiasaan buruk meminum minuman beralkohol, hingga akhirnya dia membuat batasan kapan harus fokus bekerja dan kapan waktu yang tepat untuk meminum minuman itu.
Albert Einstein selalu menyibukkan dirinya untuk mengembangkan teori relativitas dan teori mekanika kuantum yang diciptakannya. Einstein sangat tidak ingin diganggu saat mengembangkan teori-teorinya, hingga dia membatasi interaksi sosialnya termasuk kepada keluarganya.
Lain halnya dengan Imam Al-Ghazali, filsuf kenamaan Islam. Karena keterbatasan kekuasaannya untuk mencegah pengaruh negatif filsafat barat di kalangan umat Islam, lahirlah buku Ihya Ulumiddin, sebagai bentuk batasan terhadap penggunaan logika yang penuh keterbatasan.
Serangkaian tindakan manusia dalam membentuk batasan adalah perwujudan nyata dari hukum. Hukum yang dideskripsikan sebagai aturan yang memaksa, dibuat oleh segolongan manusia untuk menciptakan batasan dari segala keterbatasan.
Negara memiliki keterbatasan dalam mencegah abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), untuk meminimalisir hal tersebut, maka diciptakanlah batasan. Negara akhirnya dibagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu legislatif untuk membuat peraturan, eksekutif untuk menjalankan peraturan, dan yudikatif untuk mengadili pelanggaran terhadap peraturan.
Peraturan adalah serangkaian aturan sebagai bentuk batasan untuk membedakan antara perintah, larangan, dan pembiaran. Sebagaimana lahirnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang merupakan bentuk batasan terhadap penggunaan hak individual dalam kehidupan sosial.
Sekarang RKUHP menjadi polemik yang menimbulkan pro dan kontra. Pertanyaannya adalah, jika menimbulkan kontra, maka apakah batasan terhadap penggunaan hak individual itu terlalu sempit? Sehingga ada yang merasa haknya terlalu dibatasi dalam kehidupan sosial.
Banyak kalangan yang mengekspresikan kekhawatirannya terhadap RKUHP, khususnya kalangan mahasiswa. Setiap ada peraturan yang dibahas oleh Presiden dan DPR, tuntutan publik yang tidak pernah hilang adalah transparansi pembahasan dan penghilangan pasal-pasal yang dianggap membatasi kebebasan publik. Satu diantaranya adalah pasal penghinaan kepada penguasa.
Pada Pasal 218 ayat 1 RKUHP berbunyi, “Setiap orang yang dimuka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori empat”.
Selain itu, diatur juga penghinaan terhadap kekuasaan umum yaitu DPR, DPRD, Polisi, Jaksa, Gubernur, dan Bupati/Walikota pada Pasal 353 ayat 1 RKUHP yang berbunyi, “Setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal penghinaan di dalam KUHP lama karena dianggap inkonstitusional, terlebih lagi pada pasal tersebut menggunakan delik umum. Perbedaannya dengan pasal penghinaan yang baru di RKUHP adalah penggunaan delik aduan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 353 ayat 3 RKUHP, “Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina”. Sehingga tidak semua orang dapat melaporkan pihak penghina, hanya dibatasi untuk pihak yang dihina secara langsung.
Menelaah aturan baru terkait pasal penghinaan di dalam RKUHP ini, tampaknya tidak adil jika dikatakan terlalu sempit membatasi penggunaan hak individual di dalam kehidupan sosial. Justru di dalam pasal penghinaan yang baru ini lebih menguntungkan pihak penghina nantinya, karena hanya pihak yang dihina yang dapat melaporkannya. Lantas bagaimana dengan nomenklatur penghinaannya? Apakah bisa dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UUD NRI 1945?
Sejauh ini unsur-unsur pasal penghinaan yang disusun dalam RKUHP cukup jelas dan dapat dipahami arahnya. Yang dimaksud “menghina” disamakan dengan argumentum ad hominem (mengintimidasi secara personal). Maknanya sangat dapat dibedakan dengan “mengkritik”. Dalam mengkritik, yang diperlihatkan adalah kekeliruan seseorang atau lembaga dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Berbeda halnya dengan “menghina” yang memperlihatkan bentuk hinaan yang menyerang secara personal, seperti menyamakan seorang pejabat negara dengan perilaku binatang tertentu.
Menimbang hal tersebut, tampaknya cukup absurd jika disimpulkan bahwa pasal penghinaan di dalam RKUHP bertentangan dengan kebebasan berpendapat. Terlebih lagi sistem kebebasan yang diusung di dalam UUD NRI 1945 bukanlah jenis kebebasan tanpa batas, karena akan berujung anarki.
Pasal 28 J ayat 1 UUD NRI 1945 berbunyi, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Pasal ini adalah batasan yang diberikan terhadap kebebasan hak di dalam UUD NRI 1945. Sehingga diharapkan penggunaan hak individual dalam kehidupan sosial tidak sampai bersinggungan dengan hak individual orang lain, seperti hak bebas untuk berpendapat dengan hak bebas dari penghinaan. Semua aturan tersebut sebagai batasan dari segala keterbatasan untuk mengontrol tindakan baik dan buruk terhadap sesama.