Bhinneka Tunggal Ika

Kesabaran Orang Pesisir

1 Mins read

Dalam naskah “Suluk Sukarsa” disebutkan tokoh bernama Ki Sukarsa yang sabar. Entah tokoh dalam naskah Jawa itu fiksi atau bukan yang pasti sesuai namanya: “su” berarti bersih dan “karsa”  berarti maksud dan niat, jadinya orang ini suci dalam angan dan tindakan.

Dalam naskah puitis ini Beliau digambarkan telah sampai pada maqam makrifat bahkan “senyap” dalam titik (spot) “fana”. Dalam bahasa sederhana beliau adalah sosok yang sepi pamrih tapi rame gawe: banyak amal tanpa dipamerkan karena malu di hadapan Allah Yang Maha Pencipta. Bayangkan tingkat kewaliannya!

Beliau sadar hidup sebagai pelaut atau orang pantai yang sangat beresiko tinggi. Oleh sebab itu beliau selalu ingin dekat dengan Allah. Beliau selalu perbaiki sifat sabarnya sebab sabar itu seperti perahu yang siap terombang ambing di tengah samudera.

Ki Sukarsa tegakkan shalat karena shalat seperti tiang perahu yang menyangga layarnya. Beliau perbanyak puji-pujian sebagai ungkapan syukur kepada Tuhannya karena rasa syukur berfungsi layaknya layar yang mengembang. Tak lupa beliau kencangkan doanya sebab doa ibarat talinya. Beliau biasakan qunut sebab qunut merupakan dayung untuk melaju dan menstabilkan laju perahu ke dermaga.

Hidup adalah Menjelajah dan Berlabuh

Bagi Ki Sukarsa hidup adalah menjelajah dan berlabuh. Ke mana pun dan sejauh mana pun berjelajah pastinya manusia setiap saat akan berlabuh. Dan sebaik-baiknya berlabuh adalah di dermaga yakni assa’dah (bahagia) karena diridhoi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Sikap dan cara pandang hidup Ki Sukarsa adalah cerminan keberagamaan masyarakat pesisir Nusantara. Bahkan kalau dicermati dari sudut pernaskahan,  penulisan Naskah Sukarsa yang menggunakan model “kakawin” layaknya macapat berarti usianya lebih tua dari naskah-naskah prosa lainnya.

Itu artinya ciri Islam yang dianut masyarakat Nusantara adalah sebagaimana yang diamalkan Ki Sukarsa. Yakni penyabar, religius, senang membaca puji-pujian dan shalawat, memakai” nawaitu”, memakai qunut, berdoa dengan mengeraskan suara, dsb. Besar kemungkinannya Ki Sukarsa adalah guru besar dari penganut Ahlussunnah wal jemaah di Nusantara.

Jadi kalau ngaku Ahlussunnah tapi tidak memiliki kesabaran dan relegiusitas sebagaimana Ki Sukarsa maka patut dipertanyakan pengakuannya tersebut.

M. Ishom El-Saha

Dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Pengabdian Sosial: Kemuliaan Orang Islam yang Tak Banyak Diminati

3 Mins read
Indonesia merupakan negara yang kaya institusi sosial yang membuat masyarakat tidak kehabisan tempat atau sarana untuk mengabdi dan mempererat silaturahmi. Di antara…
Bhinneka Tunggal Ika

Asal usul Bahasa Pemersatu: Mengapa Melayu, dan Bukan Jawa?

5 Mins read
Dari lintasan sejarah, bahasa Melayu mulai diketahui keberadaannya sejak penghujung abad ke-7 (Melayu Kuno pada prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya, Sumatra Selatan) dan lebih…
Bhinneka Tunggal Ika

Rais Syuriah PBNU: Jangan Terpancing Untuk Adu Domba NU dengan Habaib

5 Mins read
Polemik nasab Habaib di Indonesia hingga hari ini masih terus bergelinding, berbagai pro maupun kontra bermunculan terutama di media sosial, berbagai narasi…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *