Dalam Islam membela diri dan menjaga kehormatan merupakan suatu keniscayaan. Misalnya, apabila ada seseorang ingin melakukan tindak kejahatan; merampas hartanya atau ingin mencelakai jiwanya secara aniaya, atau ia ingin memperkosa seorang perempuan, maka korban bisa melakukan perlawanan dan ia memiliki kewajiban membela diri.
Pun orang lain yang melihat tindak kejahatan tersebut, dianjurkan untuk memberikan pertolongan terhadap korab kejahatan tersebut. Seandainya segerombolan begal atau bajing, menghadang suatu kafilah dagang atau orang bepergian, maka orang masyarakat sekitar atau siapapun boleh memberi pertolongan untuk kelompok bajing dan begal tersebut.
Dalam Alquran terdapat pelbagai ayat yang menganjurkan kewajiban membela diri dan kehormatan. Allah berfirman dalam Q,S Al-Hujarat ayat 9. Allah berfirman;
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى ٱلْأُخْرَىٰ فَقَٰتِلُوا۟ ٱلَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِٱلْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
Artinya; Jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, Namun kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Dan juga firman Allah dalam Q.S al Baqarah ayat 194;
فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَٱعْتَدُوا۟ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ
fa mani’tadā ‘alaikum fa’tadụ ‘alaihi bimiṡli ma’tadā ‘alaikum
Artinya; Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitab al Fiqhu Islami wa adillatuhu, jilid VI, bahwa membela diri dan menjaga kehormatannya dari kejahatan manusia dan binatang adalah wajib hukumnya. Ia melanjutkan, ulama dari mazhab Imam Abu Hanifah, ulama Malikiyyah dan ulama Syafi’iyyah pun mewajibkan seseorang untuk melakukan pembelaan diri.
Dr. Wahbah Zuhaili mengatakan;
إذا هوجم إنسان بقصد الاعتداء على نفسه، أو عضو من أعضائه، سواء أكان الهجوم من إنسان آخر أم من بهيمة، فيجب على المعتدى عليه أن يدافع عن نفسه في رأي أبي حنيفة والمالكية، والشافعية
Artinya; Apabila seseorang diserang dengan tujuan untuk dibunuh atau dicelakai salah satu anggota tubuhnya, baik apakah yang menyerangnya itu adalah manusia atau binatang, maka menurut Imam Abu Hanifah, ulama Malikiyyah dan ulama Syafi’iyyah.
Namun, mazhab Syafii memberikan penjelasan, hukum wajib membela diri di sini adalah jika yang menyerang adalah orang kafir atau binatang. Karena menyerah dan pasrah kepada orang kafir adalah sebuah bentuk kehinaan dalam agama, sedangkan binatang disembelih untuk mempertahankan hidup manusia.
Sementara itu, ulama Malikiyyah mengatakan sebelum melakukan pembelaan diri, sejatinya didahului dengan langkah persuasif, misalnya; memberi peringatan kepada pelaku tindak kejahatan. Bila memang tak memungkinkan, maka korban boleh memberikan perlawanan terhadap pelaku kejahatan.
Di sisi lain, para ulama dari mazhab Hanbali berpendapat bahwa hukum membela diri dan menyelematkan jiwa ketika ada yang menyerang adalah boleh, bukan wajib. Ulama dari Mazhab Hanbali menjadikan pelbagai hadis Nabi sebagai dalil hukum bolehnya membela diri dan kehormatan.
Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitab al Fiqhu Islami wa Adillatuhu, jilid VI, halaman 256, beliau berkata;
دفع الصائل على النفس جائز لا واجب، سواء أكان الصائل صغيراً أم كبيراً أم مجنوناً
Artinya: hukum membela diri dan melawan untuk menyelamatkan jiwa ketika ada yang menyerangnya adalah boleh, bukan wajib. Baik apakah yang menyerang itu anak kecil, orang dewasa maupun orang gila
Dan ada pun hadis tersebut berbunyi;
لقول النبي صلّى الله عليه وسلم في حال الفتنة: «اجلس في بيتك، فإن خفت أن يَبهرك شعاع الشمس، فغطِّ وجهك» وفي لفظ «تكون فتن، فكن فيها عبد الله المقتول، ولا تكن القاتل
Artinya: Duduklah dirumahmu, dan apabila kamu takut melihat kilauan pedang, maka tutuplah wajahmu. Dalam sebuah lafadz hadis disebutkan; akan terjadi banyak fitnah, dan jika itu terjadi, maka jadilah kamu hamba yang dibunuh, jangan menjadi hamba yang membunuh.
Para ulama fiqih sepakat bahwa korban atau orang yang melakukan perlawanan dan membela diri yang terpaksa membunuh pelaku penyerangan, maka ia bebas dari tuntutan hukum. Pelaku tindak kejahatan akibat terpaksa, tidak terkena tuntutan hukuman baik dari aspek perdata maupun pidana—ia terbebas dari membayar diyat, dan bebas dari hukuman qishash.
Namun, menurut Dr. Wahbah Zuhaili, sebagian kalangan dari Mazhab Imam Hanafiyyah membuat pengecualian hukum. Korban yang membela diri itu dikenakan hukuman perdata (wajib bayar denda), apabila yang menyerangnya itu anak kecil, orang gila, atau binatang. Lantas si korban membela diri, maka orang gila, anak kecil, dan binatang tersebut mati, maka si pembunuh dikenakan denda (diyat).
Wahbah Zuhaili berkata;
لا قصاص عليه، وإنما يدفع الدية عن الصبي والمجنون، ويضمن قيمة الدابة
Artinya;Orang yang membunuh tersebut, tidak terkena tuntutan hukum qishahsh, akan tetapi ia diwajibkan membayar diyat. Apabila yang penyerangan yang dibunuhnya adalah anak kecil atau orang gila, namun jika binatang, maka ia membayar denda ganti rugi senilai binatang yang dibunuhnya itu.
Demikian penjelasan kewajiban membela diri dan menjaga kehormatan dalam Islam