Beberapa hari yang lalu Pemerintah melalui Wamenkumham menyerahkan draf final Rancangan KUHP ke DPR. Jika melihat ke jauh ke belakang dapat diketahui bahwa proses rekodefikasi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) nasional sebenarnya telah digagas sejak digelarnya Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada tahun 1963. Seminar ini menjadi awal mula munculnya ide untuk melakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari selang waktu setahun dari dilakukan seminar tersebut, tim pemerintah mulai melakukan perumusan.
Semangat rekodifikasi KUHP dilakukan dengan dasar untuk memunculkan suatu sistem hukum nasional yang memiliki roh atau nilai ke Indonesiaan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Mantan Menteri Kehakiman ke-9 Republik Republik Indonesia Prof. Moeljatno yang juga sempat menjadi tim perumus dalam bukunya Membangun Hukum Pidana mengungkapkan bahwa salah satu yang menjadi alasan dilakukannya pembaharuan hukum pidana Indonesia ialah Presiden Soekarno pernah mengungkapkan bahwa kedudukan kehakiman dan kehukuman di Indonesia pasca merdeka adalah tidak sama dengan negara lain. Hukum di Indonesia menduduki tempat inkonvensional serta bersumber dari revolusi atau jiwa Indonesia sendiri.
Bahkan jauh sebelum tahun 1963 dalam Pasal V undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana djelaskan bahwa Peraturan hukum pidana, baik seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan bangsa Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa peraturan hukum pidana harus mencerminkan ideologi Politik bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Oleh sebab itu nilai-nilai yang ditanamkan oleh penjajah yang tidak sesuai lagi dengan nilai bangsa Indonesia yang merdeka harus dibuang dan ditinggalkan, sebaliknya nilai hukum pidana yang masih sejalan dengan bangsa yang merdeka tetap dipertahankan dan sebaiknya hanya bersifat komplementer atau pelengkap.
Salah satu bentuk representasi nilai pancasila dalam rancangan KUHP ialah munculnya konsep asas legalitas materiil dalam Pasal 2 RKUHP. Pasal 2 ayat (1) RKUHP menyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.”
Pasal ini didasari dari sebuah pemahaman bahwa hukum tidaklah terbatas pada suatu aturan tertulis atau undang-undang saja melainkan terdapat pula hukum yang tidak tertulis. Sehingga dengan adanya Pasal 2 RKUHP ini dapat memberikan ruang bagi aparat penegak hukum khususnya hakim untuk dapat menggali hukum yang hidup di masyarakat dalam upaya menciptakan keadilan.
Jika ditelisik lebih dalam pula, Pasal 2 RKUHP ini pula berangkat dari kondisi Indonesia yang memiliki keberagaman budaya di setiap daerahnya. Dimana terdapat beberapa daerah di Indonesia yang masih meyakini hukum yang hidup sejak nenek moyang nya meskipun tidak dilakukan kodifikasi secara tertulis.
Salah satu contoh di daerah bali terdapat hukum atau kebiasaan yang hidup dimana dalam melakukan perkawinan dilakukan dengan cara membawa lari pihak perempuan kemudian lari bersama. Hal yang sedemikian oleh masyarakat bukanlah suatu perbuatan pidana. namun jika melihat hukum nasional atau dalam KUHP maka perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan pidana.
Selain itu, dicantumkannya asas legalitas materiil dalam RKUHP bertujuan untuk memberikan ruang bagi aparat penegak hukum untuk dapat menciptakan keadilan secara substantive serta mengurangi tindakan kriminalisasi layaknya kasus yang pernah terjadi seperti kasus manisih. Seperti yang diketahui manisih dipidana akibat mengambil buah randu sisa panen.
Perbuatan manisih ini oleh majelis hakim dianggap sebagai perbuatan yang memenuhi unsur rumusan pasal pencurian. Meskipun sebagaimana menurut warga setempat yang dijadikan sebagai saksi dalam kasus tersebut dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh manisish adalah suatu perbuatan yang biasa dilakukan dan telah dilakukan oleh masyarakat sejak dulu.
Masyarakat meyakini bahwa perbuatan tersebut bukanlah sebagai perbuatan mencuri. Selain itu terdapat beberapa kasus lain seperti kasus nenek minah yang mengambil 3 buah kakao serta kasus basar yang mengambil semangka. Dari kedua nya baik nenek minah dan basar melakukan hal yang dalam kebiasaan masyarakat dianggap sebagai suatu hal yang boleh dilakukan. Bahkan pada saat itu keduanya pun sejak awal mengakui jika mereka yang mengambil.
Dari kasus-kasus tersebut dapat dilihat bahwa jika mengacu kepada KUHP yang hingga saat ini berlaku maka perbuatan tersebut telah memenuhi unsur dari tindak pidana pencurian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP. Apa yang dilakukan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan maka dapat dianggap sebagai suatu putusan yang telah mencerminkan keadilan dikarenakan telah menghukum suatu perbuatan yang sebelumnya telah diatur atau dilarang meskipun jika melihat kondisi di masyarakat terdapat hukum atau kebiasaan yang berlaku bahwa perbuatan tersebut bukanlah termasuk perbuatan mencuri.
Hukum atau kebiasaan yang hidup dalam masyarakat ini tidak dapat dijadikan dasar oleh majelis hakim dikarenakan dalam KUHP hanya diatur asas legalitas formil sebagaimana dalam Pasal 1 KUHP. Dimana Pasal 1 ayatr (1) KUHP berbunyi bahwa “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Sehingga pasal tersebut dapat dikatakan bahwa dalam hukum pidana di Indonesia setiap perbuatan dapat dipidana apabila telah ada undang-undang yang mengatur dan memenuhi unsure dari undang-undang tersebut.
Ketentuan Pasal 2 RKUHP ini menjadi penyeimbang dari adanya asas legalitas formiil sebagaimana Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 RKUHP menjelaskan bahwa “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Ide keseimbangan ini pula dapat dilihat sebagai kristalisasi nilai-nilai Pancasila yang menjadi pedoman hidup bangsa Indonesia.
Munculnya Pasal 2 RKUHP dapat dikatakan sebagai wujud dari penciptaan suatu sistem hukum nasional yang mencerminkan nilai bangsa Indonesia. Suatu sistem hukum yang memang lahir dari bangsa Indonesia dan menjadi produk hukum yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia. Asas legalitas materill yang tercantum dalam Pasal 2 RKUHP pula dapat dijadikan dasar untuk mengurangi upaya kriminalisasi serta guna menwujudkan keadilan secara substantif.